Selasa, 09 Juni 2009

Lampah Ratri 2009

Untuk memperingati 40 hari bencana gempa bumi di DI Yogyakarta, digelar sejumlah ritual budaya, mulai dari tahlil akbar sampai lampah ratri atau berjalan kaki di waktu malam hari dengan tidak bersuara dan tanpa makan atau minum.

Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, rangkaian kegiatan itu simbol keinginan menyatukan dimensi vertikal (keraton-rakyat) dan horizontal (antarrakyat) dalam membangun kembali Yogyakarta.

Pada Kamis (6/7) malam, ratusan warga Yogyakarta melakukan kegiatan lampah ratri berjarak sekitar tujuh kilometer ke arah selatan, dari depan Monumen Jogja Kembali (Monjali) hingga Pagelaran Keraton Yogyakarta. Selama berjalan kaki, mereka melakukan upacara-upacara budaya seperti tabur bunga dan memercikkan air.

Pada lampah ratri, sebagian peserta menggunakan busana Jawa. Mereka membawa sejumlah ubo rampe, di antaranya janur kuning untuk kalung semua peserta, kendi, dupa dan peralatannya, sembilan lentera, 27 obor, dan lawe wenang 27 gulung.

Adapun urutan pesertanya diawali dari cucuk lampah, pembawa dupa, pembawa lentera, para ulama dan pemuka agama dari FPUB, pembawa kendi, pembawa obor, peserta berpakaian ibadah, peserta berpakaian mataraman, dan terakhir peserta umum.

Dalam uraiannya, Sultan mengatakan, ritual ini bisa ditangkap maknanya sebagai laku merefleksi hikmah dari musibah gempa. Dan, sebagai titik tolak melangkah ke depan membangun peradaban baru yang lebih bermartabat. Dengan lampah ratri ini diharapkan seluruh lapisan masyarakat menangkap substansi dan esensi semangat antara pemimpin dan rakyat untuk bekerja bahu-membahu dalam membangun Yogyakarta baru.

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0607/08/utama/2792362.htm




























Tidak ada komentar:

Posting Komentar